Mencari nafkah untuk keluarga adalah kewajiban bagi seorang suami. Saat ini mungkin banyak kita melihat suami yang malas bekerja, sedangkan istri malah sangat bersemangat bekerja. Lalu bagaimana sesungguhnya keutamaan mencari nafkah bagi keluarga?
Suami wajib dalam memberi nafkah
Memberi nafkah pada istri dan anak wajib didahulukan dari nafkah kepada keluarga yang lainnya. Hal ini disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam Shahih Muslim (997), dari Jabir, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari itu untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat dekatmu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu.”
Dari hadits tersebut, urutan dalam memberi nafkah yaitu mulai dari diri sendiri, keluarga (anak-istri) dan kerabat dekat. Imam Nawawi menerangkan, bahwa hendaknya memulai meberi nafkah sesuai urutan. Jika kebutuhan saling bertabrakan maka dahulukan mana yang lebih penting sari yang lainnya.
Suami berdosa jika enggan mencari nafkah
Kewajiban adalah sesuatu yang harus ditunaikan. Maka berdosa orang yang melalaikan kewajiban tersebut. Termasuk dalam hal mencari nafkah yang menjadi kewajiban bagi suami. Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang cukup dikatakan berdosa jika ia melalaikan orang yang ia wajib beri nafkah.” (HR. Abu Daud no. 1692. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Suami yang malas bekerja dan kekeliruan dalam tawakkal
Tawakkal bukanlah diam, berpangku tangan menunggu datangnya rezeki. Tawakkal harus dibarengi dengan usaha atau proses kerja. Dalam surat Al Hud : 6, Allah berfirman :
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.”(QS. Hud: 6).
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menjelaskan bahwa hal tersebut bukan berarti seseorang boleh meninggalkan usaha dan bersandar pada apa yang diperoleh makhluk lainnya. Meninggalkan usaha sangat bertentangan dengan tawakkal itu sendiri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”.
Suami yang ikhlas akan memperoleh pahala yang besar
“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi, pen.)” (HR. Muslim no. 995).
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56).
Nafkah suami termasuk sedekah
Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah” (HR. Ahmad 4: 131. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Mencari nafkah dan memberikannya pada keluarga (istri dan anak) adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang suami. Selain itu, apabila dilakukan dengan ikhlas maka akan memperoleh pahala yang amat besar. Oleh karena itu, tak ada lagi rasa malas dan alasan untuk mengeluh.
0 comments:
Post a Comment