Sejarah Mitos Larangan Pernikahan Jawa-Sunda

Kita tidak diberikan hak untuk memilih sebagai Suku Jawa atau Suku Sunda. Begitu juga jodoh kita yang menjadi misteri. Kita tak diperkenankan memilih jodoh yang telah dipersiapkan sebelum kita lahir. Apakah jodoh kita dari sunda ataukah jawa. Oleh karena itu, sesungguhnya larangan pernikahan antara Jawa dan Sunda ini merupakan mitos belaka. Mitos yang berkembang secara turun temurun dan meyakini jika larangan ini dilanggar maka mereka tidak akan bahagia, miskin, tidak langgeng, dan hal-hal tidak baik lainnya. 

Mitos ini berasal dari beberapa ratus tahun silam yaitu ketika terjadinya Perang Bubat. Tragedi perang ini diawali ketika Prabu Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit di Tanah Jawa ingin memperistri Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Padjajaran di Tanah Sunda. Dengan restu dari Kerajaan Majapahit, Prabu Hayam Wuruk kemudian mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Putri Dyah Pitaloka dan upacara pernikahan direncanakan dilaksanakan di Majapahit. 

Pada saat yang telah ditentukan, Maharaja Linggabuana beserta permaisuri dan Putri Dyah Pitaloka bersama rombongan diiringi sedikit prajurit berangkat menuju Majapahit. Selanjutnya para rombongan diterima di Pesanggrahan Bubat. 

Berdasarkan Kidung Sundayana, melihat peristiwa ini, menimbulkan niatan Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda sebagai bentuk pemenuhan Sumpah Palapa. Pada saat itu,  hanya Kerajaan Sundalah satu-satunya kerajaan di Nusantara yang belum ditaklukkan Majapahit. Dengan alasan tersebut, Mahapatih Gajah Mada menganggap kedatangan rombongan dari Kerajaan Sunda tersebut sebagai bentuk penyerahan diri kepada Kerajan Majapahit. Mahapatih Gajah Mada mendesak Prabu Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan kekuasaan Majapahit di Nusantara.


Mahapatih Gajah Mada berpendapat bahwa Prabu Hayam Wuruk sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya yaitu Putri Sekartaji atau Hindu Dewi sehingga Prabu Hayam Wuruk harus menikahi Putri Sekartaji. Sedangkan, dengan Putri Dyah Pitaloka diangga sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda.

Tentu saja, Kerajaan Sunda tidak menerima bila kehadirannya ke Majapahit dianggap hanya menyerahkan Putri Dyah Pitaloka sebgai tanda takluk. Sejak itulah terjadi perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Mahapatih Gajah Mada. Sebelum Prabu Hayam Wuruk memeberikan keputusannya, Gajah Mada mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat untuk mengancam Linggabuana mengakui kekuasaan Majapahit. Tentu saja permintaan ini ditolak.

Akhirnya, tragedi Perang Bubat pun tak dapat dihindarkan. Jumlah pasukan yang tidak seimbang membuat Linggabuana beserta keluarga Kerajaan Sunda serta pejabat kerajaan gugur di Pesanggrahan Bubat. Putri Dyah Pitaloka memutuskan untuk melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan kerajaannya. Peristiwa ini tidak hanya membuat hubungan Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada merenggang, tapi tentu saja hubungan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Padjajaran menjauh.

Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tinggal di Kerajaan Sunda karena tak ikut rombongan ke Majapahit menjadi satu-satunya keturunan raja yang masih hidup. Saat itu Pangeran Niskalawastu Kancana masih terlalu kecil. Akhirnya Pangeran Niskalawastu naik tahta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.

Prabu Niskalawastu Kancana kemudian memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan antar kedua kerajaan tersebut. Akhirnya dibelakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar) bagi kerabat Negeri Sunda. Peraturan inilah yang akhirnya ditafsirkan menjadi dasar larangan bagi orang Sunda menikah dengan orang Jawa. 

Tentu saja ini merupakan mitos dari hasil sejarah yang kebenarannya harus diuji. Namun demikian, roda kehidupan terus berputar, telah banyak peristiwa yang terjadi dalam hubungan antara Sunda dan Jawa yang tidak seperti zaman Kerajaan dahulu. Alasan inilah yang harusnya menjadi dasar bahwa tak ada yang salah dengan pernikahan Jawa-Sunda. Jodoh kita telah ditetapkan oleh Pencipta Manusia, tak terikat Sunda atau Jawa. Maka saling memaafkan dan kasih sayang harusnya menjadi hal yang dikedepankan.

Artikel Media Kita Lainnya :

0 comments:

Post a Comment

Scroll to top