Menyikapi Quick Count Pilpres 2014

Pesta Piala Dunia 2014 telah usai, pemenangnya pun telah diketahui dan hanya ada satu juara. Jerman yang puasa gelar sekian lama berhasil menyandang gelar Piala Dunia 2014. Dibelahan bumi lain, "Pesta Demokrasi" di Indonesia telah digelar secara meriah dan damai. Tidak seperti Pesta Piala Dunia, Pesta Demokrasi di Indonesia melahirkan dua juara versi hitung cepat alias quick count. Aneh bin ajaib memang dalam kompetisi final terlahir dua juara. Prinsip keadilan mungkin yang ingin dikumandangkan oleh demokrasi di Indonesia. Adil sama-sama menang dan tidak ada yang kalah atau tidak ada yang mau mengalah. 

Seperti telah diketahui masyarakat dunia bahwa putaran final pesta demokrasi di Indonesia diikuti oleh dua tim besar yaitu Tim Prabowo-Hatta dan Tim Jokowi-JK. Kedua tim telah melalui pertandingan yang sengit dalam lima laga resmi yang telah digelar oleh wasit Indonesia alias KPU. Pada tanggal 9 Juli saatnya masyarakat Indonesia memutuskan, siapakah diantara kedua tim ini yang lebih unggul dan dipercaya oleh rakyat menyandang gelar Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Gelar yang akan disandang selama 5 tahun. Gelar yang memiliki konsekuensi untuk mengabdi dan bekerja secara nyata untuk menjadikan Indonesia Raya yang Hebat. 


Pertandingan telah usai, namun hasil resmi pengumuman belum dikumandangkan. KPU yang ditunjuk menjadi wasit resmi masih menjalani proses pendataan dan perhitungan suara. Wajar memang, pemilihan presiden secara langsung dalam negara kepulauan sebesar Indonesia membutuhkan waktu yang lama. Distribusi ke pelosok-pelosok negeri demi mendengar aspirasi rakyat membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Pengawasan wajib dilakukan guna menjaga aspirasi rakyat sesungguhnya tanpa rekayasa dan campur tangan dari oknum yang tak diinginkan.


Bukan Indonesia jika tak ada inovasi instant. Setelah tradisi pencoblosan dilalui, seperti biasa yang dilakukan pada pemilihan-pemilihan yang lain muncullah hasil hitung cepat dari sejumlah lembaga independen. Nah, inilah fenomena yang hanya ada di Indonesia. Hasil hitung cepat yang notabene tidak resmi dari wasit resmi yang ditunjuk sangat dijadikan rujukan oleh masing-masing tim. Sehingga ketika hasil yang dirilis oleh sejumlah lembaga memiliki perbedaan, tidak langsung dianalisa dan dijadikan sekedar bahan pertimbangan namun sangat dijadikan rujukan. Hasilnya masing-masing tim mendeklarasikan kemenangannya di tempat yang terpisah, rujukannya adalah hasil quick count yang memenangkannya. 

Sungguh aneh memang, quick count yang pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja KPU selain sebagai gambaran sebaran suara dijadikan satu-satunya rujukan hasil pertandingan. Quick count didasari oleh disiplin ilmu dengan metode yang telah teruji sehingga dapat menampilkan perkiraan hasil pertandingan melalui sample. Perlu diingat bahwa perkiraan hasil pertandingan bukan hasil pertandingan sesungguhnya karena wajar ketika terjadi selisih angka. Namun hasil quick count yang dirilis sejumlah lembaga sungguh membingungkan, karena bukan sekedar perbedaan angka namun juga perbedaan pemenang. Ada sejumlah lembaga yang memenangkan tim A dan ada pula yang memenangkan tim B. Dengan metode dan disiplin ilmu yang sama menghasilkan nilai yang bertentangan. Inilah demokrasi dan politik Indonesia.

Menyikapi perbedaan hasil quick count seharusnya masing-masing tim lebih bisa mawas diri dan mengintrospeksi diri sehingga tidak melakukan deklarasi kemenangan sebelum waktunya. Kita tentu tidak mau mendahului takdir dan hanya sekedar menjadi pemenang quick count. Pendeklarasian terlalu dini menimbulkan banyak spekulasi, apalagi dilakukan oleh semua finalis yang notabene memiliki tim-tim ahli yang berkompeten. Maing-masing capres seharusnya saling menjaga perbedaan yang sangat bertentangan tidak hanya menjaga keadaan namun menjaga akar rumput yang rentan sekali akan perbedaan. Kita telah diruncingkan oleh perbedaan pilihan selama 6 bulan terakhir, bukankah lebih bijak jika tidak semakin diruncingkan lagi setelah pertandingan final usai. 

Marilah masing-masing tim capres menahan diri dan memberikan pembelajaran dan pendewasaan kepada masyarakat dan akar rumput. Menjadi seorang pemimpin yang gentle yang dewasa dan bijaksana. Bukankah seorang pemimpin merupakan teladan bagi yang dipimpinnya? Apakah ini menjadi cerminan masyarakat akan pemimpinnya? Mari sama-sama berkaca dan mengevaluasi pengabdian kita terhadap negara ini. Pengabdian yang ditunjukkan dari awal hingga akhir, dari proses ingin menjadi pemenang, hingga akhir menjadi pemenang. Percayalah semua masyarakat Indonesia percaya masing-masing capres merupakan negarawan sejati yang bijak dan dewasa menghadapi problematika perpolitikan Indonesia yang semakin hari semakin membingungkan. Jangan sampai justru menjadi antipati masyarakat dalam perpolitikan dan tujuan utama kita untuk mengabdi memajukan bangsa dan negara kita.

Selamat untuk Jerman yang telah memenangkan gelar Piala Dunia keempatnya dan selamat untuk Presiden RI resmi yang akan diumumkan pada tanggal 22 Juli nanti. Siapapun pemenangnya semoga menjadi seperti Jerman yang sangat disayangi warganya dan bagi yang kalah semoga seperti Brasil yang tidak angkat koper pulang kampung meskipun harus kalah. Mari jadi masyarakat yang cerdas menentukan sikap. Salam Indonesia Raya yang Hebat!!!

Artikel Media Kita Lainnya :

0 comments:

Post a Comment

Scroll to top